Jhon M Sihaloho
Pomparan Datu Bira Silaban 16 (Boru)
17/03/2018
Perjalanan ini saya ikuti ketika akan menghadiri acara Partangiangan
Silaban Sedunia tgl 10-10-10 di Silaban. Perjalanan kami dari Duri -
Riau sudah direncanakan dengan 3 kendaraan dan 18 orang, namun saat akan
berangkat tgl 8-10-10, yang datang hanya 10 orang, salah satunya amang
Monang JP Silaban, akhirnya disepakati hanya menggunakan 2 kendaraan.
Didalam mobil yang saya ikuti kami ada 5 orang dan saya satu-satunya hela dalam rombongan ini. Perjalanan kami lancar bahkan supir kami hanya satu orang hingga sampai di dolok sanggul, beliau tidak mau berganti, namun saya memang sudah yakin dengan kemampuan mengemudi dan fisiknya.
Setelah sampai di Dolok Sanggul, kami sarapan Jagal Hoda, yang menurut hemat saya bukan makanan yang nikmat, tapi karena penasaran habis juga sepotong, "bah".
Setelah makan, kami mengikuti kendaraan satu lagi, dimana kami berlima yang ada dalam mobil tidak tahu tujuan perjalanan ini, setelah ditelepon juga tidak diberi tahu, hanya diperintahkan ikut saja. Awalnya saya agak kesal, karena saya sudah diinformasikan oleh mertua dari berandan kepada abangnya yang ada di Sipultak dolok, dan saya ditunggu dirumah amang itu.
Perjalanan menurun dan terlihat danau toba, dan kami coba menebak daerah itu, yang mana akhirnya kami ketahui melalui papan nama instansi pemerintah didaerah itu bahwa itu daerah Bakara. Akhirnya kami berhenti dipersimpangan, dan ketika turun amang Monang JP Silaban menyapa sesorang dengan sebutan Bapauda. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki dan saya diberitahu sudah berada di Tipang dan sampai di suatu rumah.
Begitu sampai dirumah tersebut, rombongan dimobil yang satu tersebut langsung berjalan ke arah belakang rumah, bersalaman dengan seorang orang tua, terus melihat lihat sesuatu. Saya agak cuek karena saat itu mungkin sudah hampir jam 11 siang dan tidak tahu apa yang dilakukan oleh orang tua rombongan kami. Saya duduk dibawah pohon kemiri didepan rumah tersebut, teman-teman yang lain masih melihat-lihat sesuatu. Akhirnya ada orang tua yang datang ke dekat saya, saya salam dan berkenalan, ternyata beliau adalah orangtua dari lae Monang JP Silaban. Baru saya mengerti kemana perjalanan ini.
Terus orang tua dari lae Monang JP Silaban bilang, "nga ro be, dibereng do hamu", saya yang tidak mengerti apa-apa mencoba bertanya, namun amang itu hanya bilang " Oppungta nga disi mamereng hamu na ro". Saat itu saya mulai tertarik, dan mendatangi rombongan kami dan mencoba mencari tahu, ternyata mereka sedang melihat-lihat papan dan broti bekas rumah tua, kalau saya tidak salah ingat bahwa rumah itu ada sejarahnya, namun karena tidak dihuni lagi, akhirnya dibongkar, namun papan dan brotinya masih disimpang orangtuanya Monang JP Silaban.
Setelah itu, rombongan yang dari duri sibuk mengambil napuran, saya mencoba bertanya lagi untuk apa? Terus orang tua dari lae Monang JP Silaban mengatakan bahwa kalau kalian mau dan sanggup, diatas bukit sebelah sana ada Batu tempat Oppu kita Sakkar Toba berlatih ilmu yang diajari oleh Oppu Datu Mangambe. Saat itu saya sangat tertarik dan langsung memanjat pohon untuk mengambil napuran.
Dijalan, saya selalu bersama dengan orangtuanya lae itu, saya berusaha menggali info. Akhirnya beliau berkata bahwa "Dulu, saat Oppu Datu Mangambe datang dari samosir membawa Op Sakkar Toba, mereka menetap diatas sana" Sambil menunjuk bukit tertinggi, (Menurut perhitungan saya saat ini, mungkin inilah tempat atau batu yang sempat jadi foto profil group Borsak Junjungan Mulani Marga Silaban dan batu yang dikunjungi oleh rombongan dari Sibolga yang ada infonya digroup tersebut). Namun beliau juga bercerita tentang batu yang lebih kearah bawah lereng, yang menjadi tempat Oppu Datu Mangambe mengajari Ilmu kepada Oppu Sakkar Toba. Ada dua batu yang berdekatan. Setelah tiba di batu tersebut, rombongan melakukan pemberian napuran sebagai cara permisi/parsattabian.
Saya yang merupakan hela dan juga marga kami memiliki situs situs bersejarah Oppu kami, mengambil sikap tidak menaiki batu tersebut, namun anggota rombongan karena Marga Silaban bahkan saya sarankan untuk duduk dan menikmatinya. Sambil cerita-cerita, saya mendengar ada juga mata mual Oppu itu (saya lupa apakah mata mual itu milik Oppu Datu Mangambe atau Oppu Sakkar Toba), dan kami sepakat untuk mencarinya. Dengan perjuangan mendaki lereng bukit yang sudah banyak tumbuhan, akhirnya kami menemukan dan mengambil airnya untuk pelepas dahaga.
Akhirnya kami turun dan masuk kerumah orang tua lae Monang JP Silaban, dan telah disiapkan makan siang. Setelah makan siang, saat rombongan kami mengucapkan terima kasih, tiba tiba orang tua dari lae Monang JP Silaban, menangis tersedu-sedu. Saya tidak mendengar apa yang dibicarakan. Setelah selesai acara itu, saat berjalan ke mobil, seorang dari rombongan kami mengatakan bahwa ketika orang tua tadi menangis tersedu-sedu, itu adalah Oppu kita Datu Mangambe, namun karena orangtua lae Monang JP Silaban sudah sintua dan tidak mau menerima kehadiran oppu itu, makanya itu hanya tanda-tanda saja. Dan bercerita ketika kami tadi pagi baru sampai, kami juga sudah dilihat-lihat.
Saat itu juga saya diberi satu tanda bahwa bila ada "beliau" maka angin akan selalu datang dari arah belakang kita. Saya mencoba memperhatikan, ketika kami berjalan, benar angin dari arah belakang kami, ketika kami mengikuti jalan berbelok, seharusnya angin akan datang dari samping, tapi secara tiba tiba tetap datang darah belakan kami.
Ini lah kisah perjalanan saya ke Tipang, pada tgl 9-10-10, selanjutnya kami kembali arah atas dan menginap, mengikuti acara 10-10-10 keesokan harinya dan kembali ke Duri dengan selamat.
Saya juga melampirkan foto batu dan mata mual
Ada yang sudah pernah kesini?
Mauliate
Didalam mobil yang saya ikuti kami ada 5 orang dan saya satu-satunya hela dalam rombongan ini. Perjalanan kami lancar bahkan supir kami hanya satu orang hingga sampai di dolok sanggul, beliau tidak mau berganti, namun saya memang sudah yakin dengan kemampuan mengemudi dan fisiknya.
Setelah sampai di Dolok Sanggul, kami sarapan Jagal Hoda, yang menurut hemat saya bukan makanan yang nikmat, tapi karena penasaran habis juga sepotong, "bah".
Setelah makan, kami mengikuti kendaraan satu lagi, dimana kami berlima yang ada dalam mobil tidak tahu tujuan perjalanan ini, setelah ditelepon juga tidak diberi tahu, hanya diperintahkan ikut saja. Awalnya saya agak kesal, karena saya sudah diinformasikan oleh mertua dari berandan kepada abangnya yang ada di Sipultak dolok, dan saya ditunggu dirumah amang itu.
Perjalanan menurun dan terlihat danau toba, dan kami coba menebak daerah itu, yang mana akhirnya kami ketahui melalui papan nama instansi pemerintah didaerah itu bahwa itu daerah Bakara. Akhirnya kami berhenti dipersimpangan, dan ketika turun amang Monang JP Silaban menyapa sesorang dengan sebutan Bapauda. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki dan saya diberitahu sudah berada di Tipang dan sampai di suatu rumah.
Begitu sampai dirumah tersebut, rombongan dimobil yang satu tersebut langsung berjalan ke arah belakang rumah, bersalaman dengan seorang orang tua, terus melihat lihat sesuatu. Saya agak cuek karena saat itu mungkin sudah hampir jam 11 siang dan tidak tahu apa yang dilakukan oleh orang tua rombongan kami. Saya duduk dibawah pohon kemiri didepan rumah tersebut, teman-teman yang lain masih melihat-lihat sesuatu. Akhirnya ada orang tua yang datang ke dekat saya, saya salam dan berkenalan, ternyata beliau adalah orangtua dari lae Monang JP Silaban. Baru saya mengerti kemana perjalanan ini.
Terus orang tua dari lae Monang JP Silaban bilang, "nga ro be, dibereng do hamu", saya yang tidak mengerti apa-apa mencoba bertanya, namun amang itu hanya bilang " Oppungta nga disi mamereng hamu na ro". Saat itu saya mulai tertarik, dan mendatangi rombongan kami dan mencoba mencari tahu, ternyata mereka sedang melihat-lihat papan dan broti bekas rumah tua, kalau saya tidak salah ingat bahwa rumah itu ada sejarahnya, namun karena tidak dihuni lagi, akhirnya dibongkar, namun papan dan brotinya masih disimpang orangtuanya Monang JP Silaban.
Setelah itu, rombongan yang dari duri sibuk mengambil napuran, saya mencoba bertanya lagi untuk apa? Terus orang tua dari lae Monang JP Silaban mengatakan bahwa kalau kalian mau dan sanggup, diatas bukit sebelah sana ada Batu tempat Oppu kita Sakkar Toba berlatih ilmu yang diajari oleh Oppu Datu Mangambe. Saat itu saya sangat tertarik dan langsung memanjat pohon untuk mengambil napuran.
Dijalan, saya selalu bersama dengan orangtuanya lae itu, saya berusaha menggali info. Akhirnya beliau berkata bahwa "Dulu, saat Oppu Datu Mangambe datang dari samosir membawa Op Sakkar Toba, mereka menetap diatas sana" Sambil menunjuk bukit tertinggi, (Menurut perhitungan saya saat ini, mungkin inilah tempat atau batu yang sempat jadi foto profil group Borsak Junjungan Mulani Marga Silaban dan batu yang dikunjungi oleh rombongan dari Sibolga yang ada infonya digroup tersebut). Namun beliau juga bercerita tentang batu yang lebih kearah bawah lereng, yang menjadi tempat Oppu Datu Mangambe mengajari Ilmu kepada Oppu Sakkar Toba. Ada dua batu yang berdekatan. Setelah tiba di batu tersebut, rombongan melakukan pemberian napuran sebagai cara permisi/parsattabian.
Saya yang merupakan hela dan juga marga kami memiliki situs situs bersejarah Oppu kami, mengambil sikap tidak menaiki batu tersebut, namun anggota rombongan karena Marga Silaban bahkan saya sarankan untuk duduk dan menikmatinya. Sambil cerita-cerita, saya mendengar ada juga mata mual Oppu itu (saya lupa apakah mata mual itu milik Oppu Datu Mangambe atau Oppu Sakkar Toba), dan kami sepakat untuk mencarinya. Dengan perjuangan mendaki lereng bukit yang sudah banyak tumbuhan, akhirnya kami menemukan dan mengambil airnya untuk pelepas dahaga.
Akhirnya kami turun dan masuk kerumah orang tua lae Monang JP Silaban, dan telah disiapkan makan siang. Setelah makan siang, saat rombongan kami mengucapkan terima kasih, tiba tiba orang tua dari lae Monang JP Silaban, menangis tersedu-sedu. Saya tidak mendengar apa yang dibicarakan. Setelah selesai acara itu, saat berjalan ke mobil, seorang dari rombongan kami mengatakan bahwa ketika orang tua tadi menangis tersedu-sedu, itu adalah Oppu kita Datu Mangambe, namun karena orangtua lae Monang JP Silaban sudah sintua dan tidak mau menerima kehadiran oppu itu, makanya itu hanya tanda-tanda saja. Dan bercerita ketika kami tadi pagi baru sampai, kami juga sudah dilihat-lihat.
Saat itu juga saya diberi satu tanda bahwa bila ada "beliau" maka angin akan selalu datang dari arah belakang kita. Saya mencoba memperhatikan, ketika kami berjalan, benar angin dari arah belakang kami, ketika kami mengikuti jalan berbelok, seharusnya angin akan datang dari samping, tapi secara tiba tiba tetap datang darah belakan kami.
Ini lah kisah perjalanan saya ke Tipang, pada tgl 9-10-10, selanjutnya kami kembali arah atas dan menginap, mengikuti acara 10-10-10 keesokan harinya dan kembali ke Duri dengan selamat.
Saya juga melampirkan foto batu dan mata mual
Ada yang sudah pernah kesini?
Mauliate
No comments:
Post a Comment